Monday 21 February 2011

Kisah-kisah Kampung Kucing : Belajar dari Kawinan di Kampung

Sebuah Karya Sastra Oleh Mira Tj

Kisah ini tidak terjadi di Kampung Kucing. Kisah ini terjadi nun jauh di Kampung Pinggir Sering Banjir. Siang itu di Kampung Pinggir Sering Banjir terjadi perhelatan, pernikahan dua anak muda di rumah orang tua mempelai wanita.
Selayaknya pesta-pesta di kampung, lokasinya sangat sulit dicapai kendaraan roda empat. Biar sudah berbekal peta Jakarta terkini yang tebal, berwarna dan mahalnya bukan main, tetap saja tidak ketemu. "Rumahnya tidak ada di peta" adalah hampir sama mengenaskannya dengan "Pulaunya tidak ada di peta", satu hal yang lazim terjadi di kepulauan Indonesia. Mendaftar pulau yang luasnya jelas lebih luas dari satu petak rumah di peta Indonesia saja belum bisa. Apalagi mendaftarkan satu petak rumah di peta Jakarta? Tidak penting. Dan tidak perlu. Biar Google Map saja yang buat.
Selain lokasi sulit dicari, parkiran susah dan jauh dari lokasi pesta, melalui gang senggol, jemuran belakang rumah orang, pasar tradisional, serta lebih dari satu mesjid, udaranya bisa dijamin panas. Sudah dandan cantik-cantik...eee keringatan. Perpaduan minyak wangi dan bau apek. Bikin mau muntah orang-orang di sekitarnya. Bedak berlelehan dari pelipis ke leher, menodai kerah baju, bak susu coklat manis. Penderitaan total bagi tiap wanita yang hadir di pesta tersebut.
Namun di balik itu, pesta kawinan kampung sebenarnya sangat menarik. Pengantinnya bisa ganti baju hingga 3 baju! Wow, fashion show. Utamanya sih...ya supaya pengantinnya tidak bau keringat kan? Ini sangat menarik bagi para tukang foto, mestinya. Fotonya bisa dengan kostum macam-macam. Sayangnya, foto pengantin hanya bisa dilakukan di pelaminan pengantin. Pengantin hanya boleh berdiri di wilayah pelaminan atau duduk di kursi pelaminan. Jelas bukan bak raja sehari, karena raja manapun di dunia... pasti boleh jalan-jalan. Ya, rasanya mereka lebih mirip dengan sepasang manekin yang sedang dipajang di etalase department store. Kadang-kadang diganti bajunya. Dipeluk, dicium, difoto. Tidak melakukan tindakan-tindakan aktif, mendatangi tamu-tamu, mengajak ngobrol semua, berfoto-foto secara sinting dan lucu, atau berlari memeluki eyang-eyangnya yang sudah seperti batita tingkahnya.
Pesta kawinan di kampung sebenarnya sangat menyejukkan, tidak panas merangsang, karena baik pengantin maupun tamu perempuan agak membatasi dirinya dalam berdandan. Pakaian yang dikenakan rapih, relatif lebih sopan, dan relatif tidak menyilaukan mata. Seorang nenek usia 70 tahun berbisik pada nenek 70 tahun lainnya di sebuah pesta kawinan malam hari di sebuah gedung pertemuan: "Lihat tuh, pengantinnya telanjang!" disusul cekikikan jahil sambil melirik pengantin wanita yang mengenakan kebaya dengan style yang paling dikagumi dunia mode saat ini.
Pesta kawinan di kampung sebenarnya jauh lebih enak, karena...antri makanannya ngga panjang-panjang bo! Dan habis antri, bisa cari tempat duduk. Pesta kawinan  di gedung pertemuan mana bisa begitu? Antrinya puanjaaaaaang, dan luamaaaaaa. Dan begitu sampai di basi besar makanan, ternyata makanannya sudah habis. Cape deee.
Di luar itu semua, pesta kawinan di kampung adalah pesta bagi semua umat, termasuk umat kucing setempat.
Yang pertama muncul adalah si Mata Satu. Mata Satu dulunya adalah seekor pejantan muda yang kurang pengalaman dan kurang tenaga, tapi suka mengumbar nafsu. Sebelah matanya hilang karenanya. Kurang pengalaman, tidak mau bertanya, tak mau mempelajari tindak-tanduk kucing sekelilingnya. Memilih untuk mengalami ketidakberuntungan-ketidakberuntungan dalam hidup secara langsung, bukannya mempelajari catatan pengalaman buruk mereka yang mengalaminya sebelum dia. Semua pengalaman buruk yang mungkin terjadi di dunia kucing...apakah nyawa sembilannya cukup untuk itu semua? Bodoh, dan tak mau belajar.
Siapa yang mencongkel sebiji matanya? Si Mata Satu memilih diam seribu bahasa. Lubang merah mengerikan masih menganga di wajahnya, tanda nama Mata Satu belum lama disandangnya. Mata Satu yang sekarang adalah seekor kucing yang sigap mengendus bahaya. Menemukan sumber makanan, nomor satu dari semua, memungutnya perlahan dan pergi selekasnya tanpa suara.
Tak lama pejantan-pejantan handal Kampung Pinggir Sering Banjir pun bermunculan. Otot-otot mereka kekar terbentuk indah, hasil olahraga lari dari sambitan batu Nyonya Jago Masak Ikan Goreng. Tak ada perut menggelambir atau lemak-lemak berlebih, karena setiap hari mereka harus memanjat pagar, atap dan pepohonan, mencari lubang-lubang mengintip mencari makan siang di dapur-dapur Kampung Pinggir Sering Banjir. Mereka indah, tanpa perlu ke gym atau minum susu pembentuk otot. Hanya mantelnya yang kusam, tanda gizi makanan yang tersedia tidak mengandung keratin atau kalsium yang cukup, juga tanda bahwa mantel tersebut jarang dimandikan. Hanya ada sedikit waktu untuk mandi di Kampung Pinggir Sering Banjir. Hanya ada sedikit tempat yang cocok untuk mandi di Kampung Pinggir Sering Banjir. Mereka tidak segan mengais di antara kaki-kaki pengunjung pesta, hingga terkadang menerima tendangan karenanya. Sudah biasa ditendang. Sudah biasa disambit. Sudah biasa disiram. Dunia ini kejam, Bung! So belajar! Tajamkan pandanganmu! Dan...jangan belagu deh.



0 comments:

  © Blogger template 'Hypnoticat' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP